Kamis, 07 Februari 2013

Dimana Allah

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan tentang di mana Allah, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Di zaman kita, banyak orang yang berselisih tentang di mana Allah. Di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa Allah ada di mana-mana, ada pula yang mengatakan, bahwa Allah ada di hatinya, dan ada pula yang mengatakan bahwa Allah tidak di mana-mana. Apakah semua pendapat ini benar, atau salah satunya yang benar, atau semua pendapat itu salah, atau pendapat yang mana yang benar?
Sikap seorang muslim ketika menghadapi setiap perselisihan adalah mengembalikan masalah tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sebagaimana firman Allah Ta'ala,
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Terj. QS. An Nisaa': 59)
Jika kita membuka kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, maka kita akan temukan bahwa Dzat Allah Subhaanahu wa Ta'ala di atas seluruh makhluk-Nya, Dia bersemayam di atas 'arsyi(singgasana)-Nya.
Dalil-dalil tentang ketinggian Allah Ta'ala di atas seluruh makhluk-Nya dan bahwa Dia bersemayam di atas Arsyi(singgasana)-Nya
Dalil-dalil tentang ketinggian Allah Ta'ala di atas makhluk-Nya sangat banyak, dan ada di dalam Al Qur'an, As Sunnah, dan Ijma', serta didukung oleh akal dan fitrah.
1. Dalil Al Qur'an
Contohnya firman Allah Ta'ala:
"Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (Terj. QS. Al Baqarah: 255)
Ayat lain yang menunjukkan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya adalah surat Al An'aam: 18, Thaha: 5, Al Mulk: 16, Fathir: 10, Al Ma'aarij : 4, Ali Imran: 55 dan lainnya.
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dengan tegas beberapa kali, bahwa Diri-Nya bersemayam di atas Arsy, dan arsyi adalah makhluk yang paling tinggi yang menjadi atap seluruh makhluk. Dia berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy." (Terj. QS. Thaha: 5)
Ayat yang sama seperti ini disebutkan pula di surat Al A'raaf: 54, Yunus: 3, Ar Ra'd: 2, Al Furqan: 59, As Sajdah: 4, dan Al Hadid: 4.
Adapun maksud istawa' (bersemayam) sebagaimana yang diterangkan Ibnu Jarir Ath Thabari adalah "irtafa'a wa 'ala" (tinggi dan berada di atas).
Mujahid berkata tentang istawa, 'alaa 'alaa 'arsyihi (berada di atas arsyi-Nya).
Ishaq bin Rahawaih,  "Aku mendengar lebih dari seorang mufassir berkata tentang, "Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsyi," (Terj. QS. Thaahaa: 5), yaitu berada di atas.
Sedangkan tafsir istawa' dengan "istawlaa" (menguasai), maka hal ini bentuk tahrif (penyelewengan makna), menyalahi zhahir nash, menyalahi jalan yang ditempuh kaum salaf, tidak dikenal dalam bahasa Arab, dan dapat menimbulkan kesan batil bahwa Arsyi sebelumnya bukan milik Allah, kemudian Dia menguasainya.
Imam malik berkata,
"الْإِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ"
"Bersemayamnya Allah sudah maklum (diketahui) maknanya, bagaimana hakikatnya majhul, beriman kepadanya wajib, dan menanyakan bagaimananya adalah bid'ah."
2. Dalil As Sunnah
Contohnya adalah bacaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sujud,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
"Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi." (HR. Muslim)
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ لَمَّا قَضَى الخَلْقَ، كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي
"Sesungguhnya Allah ketika telah menciptakan, Dia menulis di sisi-Nya di atas 'Arsy-Nya, "Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
أَلاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ
"Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku dipercaya oleh (Allah) yang berada di atas langit." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)
Pertanyaan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita yang hendak dimerdekakan,
«أَيْنَ اللهُ؟» قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: «مَنْ أَنَا؟» قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ، قَالَ: «أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ»
"Di mana Allah?" ia menjawab, "Di atas langit." Lalu Beliau bertanya lagi, "Siapa saya?" Ia menjawab, "Engkau Rasulullah." Maka Beliau bersabda, "Merdekakanlah dia, karena dia seorang mukminah." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)
Kata "fii" (di) dalam hadits ini artinya "alaa" (di atas) sebagaimana kata-kata, "Fii judzu'in nakhl," artinya, "di atas pelepah kurma." (Lihat surat Thaahaa: 71)
3. Dalil Ijma'
Para sahabat, tabi'in dan para imam sepakat bahwa Allah Ta'ala di atas langit, bersemayam di atas 'Arsy-Nya.
Ibnu Mas'ud berkata, "Antara langit dunia dengan langit setelahnya jaraknya perjalanan lima ratus tahun. Antara masing-masing langit jaraknya lima ratus tahun. Antara langit ketujuh dengan kursi jaraknya lima ratus tahun. Antara kursi dengan air jaraknya lima ratus tahun, dan arsyi itu di atas air, sedangkan Allah di atas Arsy. Tidak samar bagi-Nya sedikit pun amalan kalian."
Imam Al Auzaa'iy berkata, "Kami dan seluruh para tabi'in berkata, "Sesungguhnya Allah Ta'aala  dzikruh di atas 'Arsy dan kami mengimani semua (sifat) yang disebutkan dalam As Sunnah." (Atsar shahih, diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Al Asmaa' wash Shifaat (408), Adz Dzahabiy dalam Mukhtashar Al 'Uluw (hal. 138), Al Albani berkata, "Para perawinya adalah imam-imam yang tsiqah." Al Haafizh menjayyidkan isnadnya dalam Al Fat-h, sedangkan Syaikhul Islam menshahihkannya dalam Majmu' Fatawa)
Ibnul Mubarak berkata, "Kami mengetahui Tuhan kami, bahwa Dia berada di atas langit; bersemayam di atas arsyi-Nya dan terpisah dari makhluk-Nya."
Abu Umar Ath Thalamankiy dalam kitab Al Ushul berkata, "Kaum muslim dari kalangan Ahlussunnah sepakat, bahwa Allah bersemayam di atas arsyi-Nya dengan Dzat-Nya."
Ia (Abu Umar) juga berkata, "Ahlussunnah sepakat, bahwa Allah Ta'ala bersemayam di atas arsyi-Nya secara hakikat, bukan majaz."
Selanjutnya Abu Umar menyebutkan sanadnya dari Imam Malik, ia berkata, "Allah di atas langit, dan ilmu-Nya di segenap tempat."
Dengan demikian, ketinggian Allah Ta'ala dengan Dzat dan sifat-Nya merupakan hal yang sangat jelas dalilnya, dan orang yang yang meyakini bahwa Dzat Allah ada di mana-mana, maka ia telah menyalahi Al Qur'an, As Sunnah, dan ijma'.
4. Dalil akal
Allah Subhaanahu wa Ta'ala wajib disifati dengan sifat sempurna dan dibersihkan dari sifat kekurangan. Sifat tinggi merupakan sifat sempurna, sedangkan berada di bawah merupakan sifat kekurangan.
5. Dalil fitrah
Dalil fitrah yang menunjukkan ketinggian Allah Ta'ala adalah karena tidak ada seorang pun yang berdoa atau menghadap kepada Allah Ta'ala, kecuali dalam hatinya mengarah ke atas, tidak ke arah bawah, dan tidak ke kanan maupun kiri. Bahkan ketika kita berdoa, maka kita angkat tangan kita ke atas, bukan ke bawah.
Maksud kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya
Abu Umar Ath Thalamankiy berkata, "Kaum muslim dari kalangan Ahlussunnah sepakat, bahwa maksud firman Allah, "Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada." (Terj. QS. Al Hadid: 4) dan yang semisalnya dalam Al Qur'an adalah, bahwa itu adalah ilmu-Nya, dan bahwa Allah di atas langit dengan Dzat-Nya dan bersemayam di atas arsyi-Nya sesuai yang Dia kehendaki."
Dengan demikian, Allah bersama kita dengan Ilmu-Nya, Dia mendengar dan melihat kita, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salaam,
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
"Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta  kamu  berdua, Aku  mendengar dan melihat". (Terj. QS. Thaaha: 46)
Perlu diketahui bahwa ma’iyyah (kebersamaan) Allah ada dua macam:
1.  Ma’iyyah ‘Aammah, yakni yang mencakup semua makhluk. Maksudnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala bersama semua makhluk-Nya dengan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, dan Dia meliputi semuanya, tidak ada yang samar satu pun bagi-Nya serta tidak ada yang dapat meloloskan diri dari-Nya. Contoh ma’iyyah ‘aammah adalah seperti yang tercantum dalam surat Al Hadid ayat 4 yang telah disebutkan sebelumnya.
2.  Ma’iyyah Khaashshah, yakni kebersamaan yang khusus kepada rasul dan wali-wali-Nya. Maksudnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala bersama para rasul dan wali-Nya dengan memberikan pertolongan, bantuan, taufiq dsb. Contoh ma’iyyah khaashshah adalah yang tercantum dalam surat At Taubah ayat 40. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
"Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan kalimat orang-orang kafir Itulah yang rendah. Dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Terj. QS. At Taubah: 40)
Orang yang pertama mengingkari Allah Subhaanahu wa Ta'ala di atas Arsyi-Nya
Al Hafizh Adz Dzahabi pernah berkata, "Pertama kali aku mendengar perkataan orang yang mengingkari bahwa Allah di atas Arsyi-Nya adalah dari Ja'd bin Dirham. Ia juga mengingkari semua sifat Allah. Lalu dia dibunuh oleh Khalid bin Abdullah Al Qasriy, dan kisahnya cukup masyhur. Kemudian pernyataannya diambil oleh Jahm bin Shafwan, seorang imam kaum Jahmiyyah, ia menampakkan pernyataan itu dan menguatkannya dengan beberapa syubhat. Dan hal itu terjadi di akhir masa tabi'in, hingga kemudian pernyataannya diingkari oleh para imam pada masa itu, seperti Al Auza'iy, Abu Hanifah, Malik, Al Laits bin Sa'ad, Ats Tsauriy, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Ibnul Mubarak, dan para imam petunjuk setelahnya."
Imam Syafi'i berkata, "Allah memiliki nama dan sifat yang tidak boleh bagi seorang pun menolaknya. Barang siapa yang menyelisihi setelah jelas hujjah atasnya, maka ia kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, maka ia diberi uzur karena kebodohannya."
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Muhammad wa 'alaa ahlihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula (Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), Ta'liq Mukhtashar 'alaa Lum'atil I'tiqad (Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin).

sumber : wawasankeislaman.blogspot.com

Related Posts :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar